Informes técnicos. Instituto Español de Oceanografía, No 185 (2005)

Tamaño de la letra:  Pequeña  Mediana  Grande

Investasi Gurami di Mata Praktisi

Yudi Anto

Resumen


Laba yang ditawarkan perusahaan investasi gurami acap kali mengundang tanya. Kepada investor mereka x memberikan keuntungan tinggi 6—12,5% per bulan. "Kalau mereka yakin dengan keuntungan begitu tinggi, kenapa malah dibagi-bagi ke orang lain? " ungkap salah satu calon investor yang menolak disebut namanya.

Julius Tirta Senjaya, peternak gurami di Parung berpendapat, “Sangat berat memang untuk meraih laba yang demikian tinggi.” Tinggi-rendahnya margin tergantung segmen yang mereka ambil. Jika segmen perdagangan benih dan konsumsi yang dibidik jelas logis. Ia pernah melempar 60.000 bibit ukuran korek ke peternak lain Rp 1.200/ekor dari harga pembelian Rp900/ ekor. Berarti hanya dalam hitungan hari diraih laba 33%.

Dalam pembesaran, faktor waktu menentukan tingkat keuntungan. Gurami butuh waktu pemeliharan cukup lamaseperti yang dikutip oleh mitra usaha tani. Jika peternak bisa mengatasi risiko ke-matian dan memacu pertumbuhan, peluang meraih untung sangat besar. Sekarang banyak peternak yang memotong jalur pemeliharaan dengan segmentasi. Mereka tidak langsung melakukan budidaya dari bibit seukuran kuku. Untuk memproduksi ikan siap konsumsi, 0,5 kg/ekor, peternak di Parung memelihara bibit sekorek api (30—35 ekor/kg) atau sebungkus rokok (10—12 ekor/kg). Beberapa peternak menggunakan bibit ukuran garpit atau tempelang yang sekilo isi 3 -A ekor.

Tumbuh lambat

Pengalaman Julius Titra Senjaya untuk menghasilkan gurami ukuran konsumsi dari ukuran korek butuh waktu 14 bulan. “Paling cepat 12 bulan. Sedangkan bibit seukuran rokok, 8—10 bulan,” ujar Uke, panggilan akrab Julius Tirta Senjaya. Oleh karena itu Uke salut bila ada peternak yang bisa memproduksi gurami dari seukuran rokok ke konsumsi hanya 5—6 bulan.

Peternak yang 4 tahun berkiprah di gurami itu menyadari banyak faktor mempengaruhi masa panen, seperti bibit, kepadatan tebar, dan pakan. Bibit terkait dengan kecepatan tumbuh ikan.

Diantara peternak ada yang menggunakan bibit asal Parung dan Purwokerto. Keduanya sama-sama tumbuh cepat jika air cocok. ’’Kalau dari daerah Parung, pasti bibit asal setempat yang lebih baik karena sudah beradaptasi,” kata Uke. Namun, itu pun tergantung padat penebaran. Pertumbuhan ikan di kolam 1.000 m2 dengan padat penebaran 2.500 ekor tentu lebih cepat ketimbang 5.000 ekor.

Demikian soal pakan, berperan besar terhadap kecepatan tumbuh ikan. Meski menurut Uke untuk memacu pertumbuhan gurami dengan pakan sulit. Pasalnya merangsang nafsu makan gurami tidak semudah ikan mas atau mujair. Pakan pelet diberikan maksimal 3% dari bobot tubuh per hari. Pada musim hujan ikan yang mirip sepat itu malah dipuasakan. Ia hanya diberikan pakan alami berupa sente, semacam daun talas.

“Saya hanya memberikan pelet 2% dari bobot ikan, daun sente 7%. Saat udara jelek pelet dikurangi hingga 1% dan daun sente 10%,” tutur Uke. Sisa pelet terlalu banyak menyebabkan kadar amonia di dasar kolam meningkat. Akibatnya, ikan banyak yang mati. Apalagi jika aliran air kurang baik. Berbeda dengan daun sente, sekalipun diberikan dalam jumlah banyak tidak berefek negatif. Konsekuensinya, jika hanya diberi pakan alami pertumbuhan gurami lambat.

Rp24.000/kg

Uke menghitung-hitung, untuk memelihara 10.000 gurami ukuran korek hingga konsumsi butuh biaya Rpl4-juta. Belum termasuk pembelian bibit Rp 10-juta. “Dari hasil penjualan saya dapat Rp54-juta. Pada waktu itu harga gurami di tingkat peternak Rpl7.000/kg,” kata bapak 2 putra itu. Berarti selama 14 bulan Uke mendapat keuntungan 125% dari modal atau 8,9% per bulan. Keuntungan sebesar itu di peroleh dengan catatan tingkat kematian maksimal 10%.

Menurut suami Ina Redzamat yang kini mengelola 6 kolam seluas 2 hektar itu, prosentase keuntungan dari hasil pembesaran gurami seukuran rokok berbeda dengan yang sekorek. “Ya, sekitar 70— 75% dalam tempo 8—10 bulan, atau 7— 9,4%,” tambahnya. Bila peternak mampu memproduksi dalam waktu 5—6 bulan, persentase keuntungan menjadi 11,6— 15%. Namun, disayangkan Uke, untuk mendapatkan bibit seukuran rokok di Parung sulit. Kalau pun ada harganya sekitar Rp2.500/ekor.

Di tingkat peternak harga gurami konsumsi di Parung kini Rp 17.000— Rpl7.500/kg. Itu lebih tinggi dibanding harga di Jawa Tengah yang berkisar Rpll.000/kg. “Ikan jawa (asal Jawa Tengah—red) Rpl6.000/kg sudah sampai di tempat,” kata Uke. Meskipun begitu bisa saja peternak mendapat harga lebih mahal. “Jangankan Rp22.000/kg. Kalau kita antar langsung ke restoran dan rumah makan di Serang atau Cilegon harga sekilo gurami mencapai Rp24.000,” lanjut sarjana Teknik Mesin alumnus salah satu perguruan tinggi di Australia itu.